PEMBAHARUAN
PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI
[Tinjauan
Filosofis]
Oleh : Hujair
AH. Sanaky
A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat
pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang
masyarakat madani (sebagai terjemahan dari kata civil society). Tanpaknya,
semua potensi bangsa Indonesia
dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang
merupakan citacita dari bangsa ini. Masyarakat madani diprediski sebagai masyarakat
yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama.
Demikian pula, bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masyarakat madani, untuk itu
kehidupan manusia Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamentalyang tentu
akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era orde baru. Kenapa, karena
dalam masyarakat madani yang dicita-citakan, dikatakan akan memungkinkan
"terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu
dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan
kemajemukan [pluraliseme]" , serta taqwa, jujur, dan taat hokum
[Bandingkan dengan Masykuri Abdillah, 1999:4].
Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan
berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta
tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan
zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan
yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan
baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha
yang dijalankan akan memenuhi kegagalan".
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan
Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan
sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru
pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri
tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang
dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan
disetiap cabang pengetahuan manusia [Conference Book, London, 1978:16-17].
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati
dalam pembahasan ini adalah
bagaimanakah pendidikan Islam
didisain menuju masyarakat madani Indonesia.
1. Konsep
Masyarakat Madani
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi,
walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi.
"Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society".
Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil
society atau al-muftama' al-madani.
....Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat
politiknya dengan istilah societies
civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero
memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian
aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan
sosial" [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok
keagamaan, dan kelompk intelektual] serta organisasi sipil dari semua kelas
[seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan
diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka
sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat
madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan
dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan
masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan
[pluralisme] [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut, Komaruddin
Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang
menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta
visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah [terdiri dari kata
"para" dan "madinah", dan atau "parama" dan
"dina"]. Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah,
sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun
sebuah peradaban [madani] [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268].
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata
Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat
secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota
pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim
mengartikan civil society dengan cara
memberi atribut keislaman madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena
itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat
idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat
tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan
hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap
kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap
masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang
dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil
society"[Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua
istilah [masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan
kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma
keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti
"kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah
difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya
Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan
dengan masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk
kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat
diperhadapkan dengan istilah masyarakat
Modern.
Dari paparan di
atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah
suatu komunitas
masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga
masyarakatnya"
yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan
agama, dengan
mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan
[persamaan],
penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan
[pluralisme],
dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat
madani merupakan
suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di
bumi Indonesia,
yang masyarakatnya sangat plural.
Dari uraian di
atas, maka sangat perlu untuk mengetahui
ciri masyarakat
tersebut.
Antonio Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society”
[1996: 28-50]
yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat
sepuluh ciri
yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas,
supermasi,
keabadian, dan pemerataan kekuatan [prevalence of force] adalah empat ciri
yang pertama.
Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama".
Ciri ini bisa
terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam
memanfaatkan
kesempatan [the tendency to equalize the share of utility]. Keenam, jika
masyarakat
madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" [the common good],
kujuan akhir
memang kebajikan publik [the public good]. Ketujuh, sebagai "perimbangan
kebijakan
umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan
dengan cara
memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih
kebajikan
itu. Kedelapan, masyarakat madani,
memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti
eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan,
masyarakat
madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan
[seigniorial or
profit]. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru
memberi manfaat
[a beneficial power]. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi
kesempatan yang
sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus
seragam, sama
dan sebangun serta homogin [Mufid, 1999:213].
Lebih lanjut,
menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari
berbagai warga
beraneka "warna", bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar
madani di sebut
sebagai masyarakat "multi-kuota" [a multi quota society]. Maka,
secara
umum sepuluh
ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada
masyarakat
seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin
oleh Nabi SAW
yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal
masyarakat
“madinah” telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya,
"tak ada
satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik
masa adalah
masaku" [ahsanul qurun qarni] -
terlepas dari status sahih dan tidaknya
sabda ini, ataupun
siapa periwayatnya [Mufid, 1999:213-214]. Diakui bahwa masyarakat
Madinah yang
dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype
masyarakat
idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini,
nampaknya akan
upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan
ditiru dalam
wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.
2. Pendidikan
Islam
Sebelum membahas
tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu
membahas apa itu
pendidikan? Menurut M.J. Langeveld ;
"Pendidikan merupakan
upaya manusia
dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan [Kartini Kartono,
1997:11]. Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan
secara sadar
oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik
menuju
terbentuknya keperibadian yang utama [Ahmad D. Marimba, 1978:20]. Demikian
dua pengertian
pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam
Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, "pendidikan
dirumuskan
sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang.
Sedangkan,
"pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau
semua usaha
generasi tua untuk mengalihkan [melimpahkan] pengetahuannya,
pengalamannya,
kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai
usaha untuk
menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah
maupun rohaniah
[Zuhairin, 1985:2].
Para ahli
Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian
pendidikan
sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia;
hakikat,
sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan
pendidikan
bergantung kepada pandangan hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai
kesatuan badan
dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah
manusia pada
hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan [innate] yang
menentukan
perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang
menentukan
[domain] dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan
individu dalam
masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap
hanya hidup
sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian [akhirat]? Demikian
beberapa
pertanyaan filosofis" yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut di atas , memerlukan jawaban yang
menentukan
pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga
sebagai pangkal
perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti;
pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis,
demokratis, dan
lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan
tentang
pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan
terdapat
titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat
sebagai suatu
proses; karena dengan proses itu seseorang [dewasa] secara sengaja
mengarahkan
pertumbuhan atau perkembangan seseorang
[yang belum dewasa].
Proses adalah
kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilainilai yang
merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka,
dengan
pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku
pada manusia
tidak pada hewan" [Anwar Jasin, 1985:2].
Dari uraian di
atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan
Islam adalah
suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu
rupa sehingga
dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka
terhadap segala
jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan
sangat sadar
akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2],
atau menurut
Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada
perilaku dan
perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman anNahlawi,
1995:26].
Dari pandangan
ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar
"transper
of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih
merupakan suatu
sistem yang
ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang
terkait secara
langsung dengan Tuhan [Roihan Achwan, 1991:50]. Dengan demikian,
dapat dikatakan
pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja
perkembangan
seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok
pendidikan Islam
dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia
kearah
kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam
membawa manusia
untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan
adalah "nilai-nilai
Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan
hidupnya di
dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan
anggota
masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits [Anwar
Jasin, 1985:2].
Jadi, dapat
dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya
melihat
pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata [pendidikan
intelek,
kecerdasan],
melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat
eksistensinya.
...Maka,..pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat
terkait dengan
pandangan Islam tentang hakekat keberadaan [eksistensi] manusia. Oleh
karena itu,
pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan
kesadaran bahwa
manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak
pada kadar
ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara
kualitatif"
[M.Rusli Karim, 1991:29-32].
Pendidikan
berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada
manusia, maka
sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan
Islam tentang
manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan
akhirat, maka
pandangan Islam tentang manusia antara lain:
Pertama, konsep Islam
tentang manusia,
khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits
Rasulullah,
bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi"
tertentu
[Anwar Jasin,
1985:2]. Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama
dengan tulus dan
mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan
oleh Allah. Tak
ada perubahan pada ketetapan-Nya.....[ar-Rum : 30]. Dengan demikian,
manusia pada
mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu
dikembangkan
dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori
tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh
lingkungannya,
sedangkan konsep
fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate
tendencies] yang
telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah [Anwar Jasin,
1985:3]. Bahkan
dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah
mengadakan
"transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui
keesaan Tuhan,
firman Allah
surat al-A'raf : 172, "Ingatlah,
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
Adam dari sulbi
mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri;
"Bukankah
Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi"
yang
demikian agar
kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal
ini" [Zaini
Dahlan, 1998:304]. Apabila kita
memperhatikan ayat ini, memberi gambaran
bahwa setiap
anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau
disebut dengan
"tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik
dan intelegensi
atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan
keterbatasannya.
Selain itu,
dalam al-Qur'an banyak dijumpai
ayat-ayat yang menggambarkan
sifat-sifat hakiki
manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara
pengarahan
perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa
manusia
diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya dan
sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut
kodrat atau fitrah-nya [pada al-Mu'minun:115 dan
al-Baqrah:286]. Selain itu juga
manusia pada
hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul
amanah [pada
al-Ahzab : 72]. Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi
pendidikan
adalah tanggung jawab yang ada pada
manusia bersifat pribadi, artinya
tidaklah
seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa
melibatkan orang
lain [pada Faathir:18]. Sifat lain yang ada pada manusia adalah
manusia diberi
oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih
perkataan - kesadaran nurani]
yaitu daya untuk
menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan
berkomunikasi
dengan bahasa yang baik [pada ar-Rahman:3-4]. Pada hadits
Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian
dunia harus ditempuh dengan
ilmu dan barang
siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan
barang untuk
mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat
dikatakan bahwa
tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja
segala potensi
yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang
menjadi seorang
muslim yang baik. Kedua, peranan
pendidikan atau pengarah
perkembanagan.
Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa
dikembangkan
dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila
dengan bantuan
orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik
mengarahkan
segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul
amanah dan
tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat,
sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik.
Ketiga, profil manusia
Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah
ketaqwaan kepada Allah.
Dengan demikian,
perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada
pembentukan
ketaqwaan. Keempat, metodologi
pendidikan. Metodologi diartikan
sebagai
prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan
seseorang,
khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa
seseorang
dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu
berkembang
secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses
belajar-mengajar
harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student active
learning] [Anwar
Jasin, 1985:4-5].
Jadi, dari
pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi
bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu
dengan membawa "potensi bawaan" seperti potensi "keimanan",
potensi untuk memikul amanah dan tanggung
jawab, potensi
kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu
berkembang
secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan
orang lain atau
pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu
menjadi khalifah
dan mengabdi kepada Allah.
Bersarkan uraian
di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits
sangat luas,
meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan
rahmat Allah.
Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa
keimanan dan
akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu [dunia –
akhirat] dan
keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan
tanggung jawab
sebagai seorang khalifat dan muslim yang
bertaqwa. Tetapi pada
realitasnya
pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki
pengertian yang
agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit
ke-pelajaran
fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi
program
pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan
luasnya
pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits [ajaran Islam].
3. Pembaharuan
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam
berbagai aspek.
Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga
terkesan
seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara
mendasar, selalu
dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai
tenaga ahli.
Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah
terutama karena
orientasi yang semakin tidak jelas [Muslih Usa, 1991:11-13].
Berdasarkan
uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep
pembaharuan
pendidikan Islam
di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. [a]
konsep dan
praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu
menekankan pada
kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada
keseimbangan
antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali
konsep
pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang
manusia yang
akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga
pendidikan Islam
yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi
kebutuhan umat
Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan
masyarakat dan
bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan
menuju
masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya
secara mendasar
dalam memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha
pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap
apabila
didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap.
Filsafat
pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsiasumsi
dasar yang kokoh dan jelas tentang
manusia [hakekat] kejadiannya, potensipotensi bawaannya, tujuan hidup
dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun
sebagai anggota
masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan
akhiratnya
hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya
dapat
dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat
dan pendekatan
emperis [Anwar Jasin, 1985:8], Sehubungan dengan itu, konsep dasar
pembaharuan
pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis
pendidikan yang
didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan
hubungannya
dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam
usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara
jelas implikasi
ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau
potensi bawaan,
misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep
dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar
pendidikan Islam
hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan
( sosial -
kultural ) diperhatikan. Jadi, apabila kita
ingin mengadakan perubahan
pendidikan Islam
maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep
dasar filosofis
pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam,
mengembangkan secara
empris
prinsip-prinsip yang mendasari
keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan
[sosial –
cultural] yang dalam hal ini adalah
masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka
dasar filosofis
dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya
pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang
pasti [Rangkuman dari Anwar
Jasin, 1985:8
–9].
Konsep dasar
filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam
konteks supra
sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan.
Apabila terlepas
dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak
relevan dengan
kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut [masyarakat
madani]. Jadi,
kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan
dan meningkatan
kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat
Islam di
Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya
[ignorance] akan
kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani"
dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat
meningkatkan
mutu umatnya dalam menuju
"masyarakat madani". Kalau tidak umat
Islam akan
ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat
ideal
yang
dicita-citakan bangsa ini. Maka
tantangan utama yang dihadapi umat Islam
sekarang adalah
peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan
memainkan
perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu
dan teknologi
yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai
ilmu dan
teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah
untuk manusia
dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini
untuk diolah
bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat
madani yang diprediski memiliki ciri ; Universalitas,
Supermasi,
Keabadian, Pemerataan kekuatan, Kebaikan dari dan untuk bersama,
Meraih kebajikan
umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan
berinteraksi
pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap
warganya. Atas
dasar konsep ini, maka konsep filsafat
dan teoritis pendidikan Islam
dikembangkan
sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek
lingkungan
masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi
dan ciri sosial
kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan
menuju
"masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab
perubahan
tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut : [a] pendidikan
harus menuju
pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan
jurang pemisah
antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan
seorang muslim,
ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, [b]
pendidikan menuju
tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam
berbagai hal dan
bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran
ajaran Islam,
tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan
yang mampu
menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam
kehidupan, [d]
pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada
kerja, disiplin
dan jujur [Suroyo, 1991:45-48], (e) pendidikan Islam harus didisain untuk
mampu menjawab
tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks
ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembagalembaga pendidikan
[Anwar Jasin, 1985:15] Islam yang ada. Memang diakui bahwa
penyesuaian
lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya
lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga
tersebut sebagai
tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta
keterampilan.
Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan
peniruan
dengan tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah
dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya
ada perasaan harga diri
bahwa apa yang
dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga
dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban
kurikulum yang
terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga
pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum
[non-agama] dari
kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah
program
pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna
oleh peserta
didik secara baik, sehingga produknya [hasilnya] serba setengah-tengah
atau tanggung
baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu,
lembaga-lembaga
pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain
program
pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan
relevansinya
dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk
menuju
"masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih
satu di
antara dua
fungsi yaitu apakah mendisain model
pendidikan umum Islami yang handal
dan mampu
bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau
mengkhususkan
pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing
secara
kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang
berkaliber
nasional dan dunia.
4. Penutup
Berdasarkan
paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut : [1] Menyarakat
madani merupakan
suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan
ciri:
universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan
untuk
bersama, meraih
kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada
keuntungan, dan
kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri
masyarakat ini
merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah
pada era
reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan,
ekonomi,
politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang
dicitacitakan. [2] Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada
asumsiasumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori
pendidikan
Islam yang
dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia
dan
lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah
filsafat dan
teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk
lingkungan (
sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. (3) Konsep
dasar pendidikan
Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan
dengan disain
masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori
pendidikan harus
memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas
"masyarakat
madani" yang dicita-citakan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
an-Bahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah
wa Asalibiha fi Baiti wal
Madrasati wal
Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beiru-Libanon, Cet. II,
1983., Terj.,
Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah
Sekolah dan
Masyarakat, Gema
Insani Press, 1995. Ahmad D. Marimba, 1974,
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma'arif,
Bandung,
Cet.III,.
Anwar Jasin,
1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan
Filosofis,
Jakarta.
Conference Book,
London, 1978.
Fathiyah Hasan
Sulaiman, Bahts fi 'L-Madzhab al-Tarbawy
'Inda 'L-Ghazaly,
Maktabah
Nadhlah, Mesir, 1964., Terj., Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz,
Konsep Pendidikan
al-Ghazali, P3M, Jakarta, Cet. I, 1986.
H.A.R. Tilar,
1998, Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad
21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I,.
Imam Barnadib,
1997, Filsafat Pendidikan Sistem &
Metode, Penerbit Andi,
Yogyakarta, Cet.
Kesembilan,.
Komaruddin
Hidayat, 1998, Masyarakat Agama dan
Agenda Penegakan
Masyarakat
Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program
Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Malang, Tanggal, 25-26
September.
Masykuri Abdillah,
1999, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas,
Sabtu, 27
Februari.
Mufid, 1998,
Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah "Seminar
Nasional dan
Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah
Malang", Tanggal, 25-26 September.
Muslim Usa
(editor)1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
Tiara Wacana,
Yogyakarta, Cet. I,
M.Rusli Karim,
1991, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia,
dalam Buku
Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan
Fakta, Editor :
Muslih Usa,
Tiara Wacana, Yogya, Cet.Pertama.
Roihan Achwan,
1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal
Ilmu Pendidikan
Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Soroyo,
1991, Antisipasi Pendidikan Islam dan
Perubahan Sosial Menjangkau
Tahun 2000,
dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan
Fakta, Editor :
Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya.
Syed Sajjad
Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education., Terj.
Rahmani Astuti,
Krisis Pendidikan Islam, Risalah.
Thoha Hamim,
1999, Islam dan Masyarakat Madani (1) Ham, Pluralisme, dan
Toleransi
Beragama, Koran Harian "Jawa Pos", Kamis Kliwon, Tanggal, 11
Maret.
Zuhairini, dkk,
1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar